Pikiran Anda Menentukan Karakter Anda

Sewaktu tertidur lelap, tiba-tiba terbangun. Ingat, saya belum menulis jawaban dari pertanyaan yang diberikan oleh salah seorang anggota Grup WA.  


Saya  bergegas buka laptop dan mencoba menuliskan apa yang ada pada benak saya. Jawaban ini benar-benar spontan jauh dari ilmiah. Karena jawaban saya tidak menggunakan rujukan apalagi logika berpikir tingkat tinggi. Jawaban saya berdasarkan pandangan dan sedikit saja tentang pengalaman


Tulisan ini terlahir karena ada pemicunya. Hal ini dipicu oleh ramainya sebuah group WA. Dalam hati berkata.“Tumben WA grup ini pagi-pagi sudah ramai”. Biasanya sunyi senyap.  Paling hanya ada berupa informasi kedinasan. Jawaban anggota grup biasanya singkat.


“Siap Pak/Bu” .
“Terima kasih atas informasinya”.
“Siap kami laksanakan .“
“OK” dll


Bahkan suatu waktu ada anggota grup yang menanyakan:


“Mhn maaf kalau grup ini masih aktif apa tidak yah? Dan anggotanya masih ada ??????”


Mungkin karena WA grup ini sunyi senyap seperti di kuburan. Tidak seperti WA grup yang lain.


Kalau di grup sebelah, saat ini  ramai komentar sudah biasa. Karena diisi teman-teman yang anggotanya sedang belajar menulis artikel. Belajar menulis menerbitkan buku. Bahkan sedang rame dan membumi penawaran kegiatan seminar melalui webinar.


Kali ini, ramainya grup ini dipicu oleh pertanyaan salah seorang anggota grup yang  bertanya tentang bagaimana pandangannya terhadap isi dari sebuah flyer. Flyer  tersebut berisi pandangan orang nomor satu pendidikan di bumi merah putih saat ini. Adapun flyer tersebut bertuliskan:


Bagaimana menurut bpk/ibu  …  pernyataan  ini??


Banyak ragam pendapat dan tanggapan terhadap isi flyer tersebut. Biasa namanya pendapat selalu beragam. Ini menandakan bahwa kita punya pandangan yang berbeda. Latar belakang pendidikan yang tidak sama. Termasuk pengalaman dan jam terbang yang berbeda pula. Perbedaan itu adalah anugrah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perbedaan itu lumrah. Dan perbedaan itu menjadi sebuah ketetapan untuk saling berbagi.


Anggota WA grup, menanggapi isi flyer tersebut sangat bervariatif. Dari mulai jawaban yang positif, biasa-biasa saja, negatif, bahkan mungkin ada yang emosional. Ada anggota grup yang menanggapinya santuy seperti tulisan berikut:





Ada yang menanggapinya dengan penuh kehati-hatian:

“Apa yg di sampaikan perlu melakukan kajian yg komperhensif . Jika manusia  berada dalam dunia khayal nilai kemungkinan yg di utarakan  itu  bisa. Mahluk sosial itu butuh aktualisasi jadi menurut saya perlu pengkajian bersama.”

Ada juga anggota grup yang berkomentar seperti ini:

Pengetahuan bisa ditanya di Mbah Google .tapi karakter dan ketrampilan dibutuhkan guru yang mampu jadi figur seorang guru yg jadi souri teladan, guru yang memberikan ketrampilan hidup life skillnya semua ini harus berdekatan antara guru dan peserta didik tidak bisa diwakili oleh berbagai vitul daring.”


Selain itu, ada juga komentar ketidaksetujuan dari isi flyer tersebut. Pokoknya bermacam-macam komentar. Namanya grup yang anggotanya orang-orang hebat.


Tetapi kebanyakan anggota grup tidak berkomentar. Saya yakin bukan tidak punya pendapat, tetapi ngga mau berdebat. Yang jelas anggota  grup yang membaca flyer di WA tersebut, dalam pikiran dan hati masing-masing pasti sudah memiliki jawabannya.

Lalu bagaimana pandangan saya terhadap persoalan tersebut?

Saya menganggap flyer tersebut “debatable”. Artinya jawaban yang masih bisa diperdebatkan, didiskusikan dan dikaji lebih mendalam. Tergantung kita memandang dari sisi mana. Jawaban bisa benar dan bisa salah. Benar kalau pernyataan tersebut terbukti adanya pada diri kita atau teman sekeliling kita.  Bisa juga salah kalau tidak terbukti padanya atau teman-temannya.

Ayo kita analisis bersama-sama:
1.   Adakah orang yang  bergelar tetapi kompetensinya lemah?
2.   Adakah orang yang tidak bergelar tetapi memiliki kompetensi yang luar biasa?
3.  Adakah seseorang lulusan sekolah tertentu yang menjadi pengangguran?
4.   Adakah seseorang yang tidak lulus dari sekolah, tetapi memiliki keahlian dan keterampilan yang hebat?
5.   Adakah sekolah yang akreditasinya baik tetapi lulusannya tidak baik?
6.   Adakah sekolah yang tidak terakreditasi tetapi menghasilkan mutu lulusan yang baik?
7.   Adakah anak yang datang ke sekolah tetapi tidak belajar?
8.   Adakah anak yang tidak sekolah justru dia belajar?

Sepertinya pertanyaan–pertanyaan tersebut memerlukan jawaban yang datang dari hati nurani. Bahkan harus melihat fakta dan realita yang terjadi. Bukan dijawab hanya oleh persepsi apalagi ilusi. Ayo kita renungkan dengan bijak. Ayo kita pahami secara komprehensif. Ayo kita analisis secara realistis.


Faktanya kalau orang bergelar, hidupnya sukses itu banyak.
Orang lulusan sekolah ternama,  banyak karya dan prestasi tak terhitung jumlahnya.
Sekolah dengan terakreditasi  dan menghasilkan lulusan terbaik itu seabreg jumlahnya.
Begitu juga anak yang masuk kelas dan belajar adalah realitanya.

Fakta lain.

Tidak semua orang yang bergelar memiliki kompetensi yang baik. Buktinya masih ada yang bergelar melakukan  korupsi, melanggar hukum, tidak beretika dan lain-lain. 


Ada orang yang tidak bergelar tetapi memiliki kompetensi yang baik. Berperilaku jujur dan sopan. Taat beribadah. Bahkan perhatian pada masyarakat lemah.


Tidak semua lulusan sekolah tertentu, bekerja sesuai latar belakang pendidikannya. Ada lulusan keguruan yang menjadi pedagang, ada juga lulusan jurusan kehutanan bahkan mengajar.


Di sekolah, ditemukan guru bekerja tidak selalu sesuai dengan lulusannya, tidak linier tetapi mengajarnya disenangi oleh peserta didiknya.


Kenyataan lain menunjukkan ada yang  bekerja sesuai lulusannya, tetapi kerjanya gitu-gitu saja. Malah kalah oleh orang yang bekerja tidak sesuai ijazahnya.


Tidak jarang juga orang yang sekolah dan lulus dari perguruan yang terkenal, tetapi menjadi pengangguran.

Ada sekolah yang akreditasi baik tetapi mutu sekolah kurang baik. Kalau proses akreditasinya asal-asalan atau atau hasil manipulasi. –-perlu bukti? Ada di redaksi--Tapi ada juga sekolah yang akreditasinya tidak begitu baik, tetapi menghasilkan lulusan yang bermutu.

Ada siswa yang masuk sekolah, asal masuk kelas saja. Karena masuk kelas bukan kesadaran tetapi karena takut sama orang tua. Ada siswa yang dari rumah berangkat, tetapi ngga sampai di sekolah. Ada juga yang sampai ke sekolah tapi belajarnya tidak serius. Atau yang penting menggugurkan kewajiban.


Ada juga anak yang hadir di kelas, tetapi dipaksa mendengarkan gurunya yang mengajarnya kurang menarik. Yang ada bukan belajar malah bermain.  Fisiknya ada di kelas, tapi pikirannya melayang kemana-mana.


Hal lain, ada juga anak yang tidak belajar secara formal (masuk kelas) tetapi sukses dalam kehidupannya. Ia belajar mandiri dan belajar dari lingkungan. Ia berprinsip seriap tempat adalah tempatnya belajar. Setiap waktu adalah saatnya belajar. Setiap orang yang hadir bergaul dan berinteraksi dengannya adalah sumber belajar.


Lantas bagaimana dengan isi flyer “mas menteri tadi”? Pertanyaan ini lebih cocok dipertanyakan kepada diri kita sendiri. Kalau kita tidak merasa, tidak usah tersinggung. Tapi kalau merasa, ayo kita lakukan perubahan. Perubahan yang sesungguhnya ada dalam diri kita. Ayo kita mulai dari diri kita, mulai dari hal yang kecil, dan mulai dari saat ini. 


Dari mana lagi mulainya?

“Perubahan dan Sukses Itu Berawal dari Mindset”


Perhatikan apa yang kita pikirkan, karena yang kita pikirkan akan keluar menjadi ucapan atau kata-kata.


Perhatikan apa yang kita ucapkan, karena ucapan itu akan keluar menjadi tindakan atau action.


Perhatikan apa yang kita lakukan, karena ketika itu diulang-ulang terus dia akan menjadi kebiasaan .


Perhatikan kebiasaan kita, mulai dari mata terbuka sampai tertutup lagi, karena dia akan menjadi karakter.


Perhatikan karakter kita, karena karakter kita itu dibentuk dari apa yang kita pikirkan … demikian akan menjadi takdir kita.


Masalah Kun Fayakun adalah urusan yang Maha Kuasa. Urusan kita adalah berikhtiar semaksimal mungkin.


Kalau dari kecil terbiasa melihat sebuah peluang adalah kesempatan. Kemudian bagaimana kesempatan itu bisa dimaksimalkan menjadi sebuah kebiasaan.  Dan kebiasaan itu dibangun menjadi karakter, maka kita akan melihat suatu peluang di tengah situasi sekarang menjadi sebuah kesempatan untuk sukses.

Pertanyaannya selama ini, pikiran kita diisi dengan nutrisi apa?

Seperti apa yang kita baca?
Seperti apa yang kita lihat?
Seperti apa yang kita dengar?
Seperti apa yang kita rasakan?

Itulah yang akan terbentuk dan arahnya ke sana yang kita pikirkan. Maka berpikirlah posistif…supaya melahirkan energi yang positif. Dengan energi yang positif, akan melahirkan ide, kreativitas, kompetensi dan karakter yang positif pula.

Wallahu’alam….

Bekasi, 9 Juni 2020

Yan Supyanto

Komentar

  1. Rambut sama hitam pak... Jelas pikiran orang berbeda.. Yg penting saling menghargai pendapat orang lain...
    Semangat terus pak...
    Hebat...

    BalasHapus
  2. luar biasa, tertegun dgn kata2 nya.

    BalasHapus
  3. Semoga menjadi menjari bahan renungan kita....

    BalasHapus
  4. Tidak selamanya pikiran itu menjadi karakter namun karakter itulah yang bisa mempengaruhi pola pikir seseorang

    BalasHapus
  5. saya banyak senyam senyum bancanya, pada akhirnya saya mentertawakan diri saya sendri, karen asdh 6 tahun belum juga lulus S3 di UNJ hahaha

    BalasHapus
  6. Kalau pernyataan itu keluar dari seorang yang bukan pejabat formal pendidikan...maka itu bagus..karena mengindikasikan semangat perbaikan alternatif yang inovatif...
    Tapi kalau itu muncul dari pejabat pendidikan formal...ini mengindikasikan pejabat itu belum banyak baca, baca, baca, dan malas baca sehingga tidak tahu dan komitmen terhadap tupoksinya...
    Jadi lah berpikir liar tanpa tools nya sebagai pejabat formal..apalagi dia SDH mengimunisasi diri dengan kata kata merdeka...

    Tugas pejabat formal, ya mengatasi kesenjangan yg ada atau masalah....antara yg diperintahkan peraturan dan perundangan dan kenyataan yg belum terwujud...!

    Kalau mau merdeka...beradalah di jalur non formal saja...

    PGRI wajib mendampingi...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menciptakan Pola Belajar Efektif dari Rumah

Bahan Untuk Renungan

Kebencian itu Seperti Bau Tomat Busuk