Blended Learning Berbasis “Guru Dadakan”


Sebelum mewabahnya Coronavirus Disease (Covid 19), para guru berpandangan bahwa Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) baik untuk masa depan, tetapi belum pas buat masa kini. TIK hanya cocok untuk guru-guru dan anak-anak yang tinggal di kota-kota besar. TIK tidak cocok untuk guru-guru dan anak-anak yang tinggal di daerah terpencil dan pedalaman. TIK juga membutuhkan investasi yang harus dibicarakan di berbagai pihak berkepentingan. Secara pedagogik TIK  masih dipertanyakan efektivitasnya dan yang tidak kalah penting adalah guru-guru belum siap, perlu banyak pelatihan terlebih dahulu.

Dengan adanya  Coronavirus Disease (Covid 19), merubah wajah pendidikan kita. Pembelajaran tatap muka sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Belajar jarak jauh menjadi satu-satunya cara yang harus diadopsi, baik di kota maupun di pedesaan.  Pemanfaatan teknologi informasi, komunikasi, dan internet adalah sebuah keniscayaan. Peserta didik milenial relatif telah siap sedangkan guru tidak ada pilihan lain selain harus belajar beradaptasi.

Apa yang harus dilakukan guru mengejar ketertinggalan tersebut? Kuncinya adalah motivasi diri, (tanggungjawab moral) dan selalu meningkatkan kemampuan (kompetensi).  Caranya adalah belajar sambil melakukan (learning by doing). Belajarnya dari orang lain dengan memanfaatkan dunia siber (youtube, google, internet, media sosial, dan lain sebagainya.

Tahun 2020 adalah kesempatan bagi para guru untuk mengejar ketertinggalan  dalam memanfaatkan TIK untuk pendidikan. Caranya adalah merancang proses pembejaran jarak jauh menggunakan TIK.  Memilih metode yang tepat dalam pembelajaran jarak jauh. Menyusun strategi pembelajaran yang akan diselenggarakan secara bijak. Mengembangkan bahan ajar secara cepat namun tepat. Menyelenggarakan proses belajar mengajar secara efektif dan menarik. Melalukan evaluasi proses pembelajaran secara benar baik itu formatif maupun sumatif. Menyempurnakan strategi dan proses pembelajaran secara bertahap. Keseluruhan tugas dan kompetensi tersebut harus ada di dalam DNA seorang guru.

Beberapa tantangan yang harus segera diselesaikan oleh guru adalah proses belajar mengajar tidak boleh berhenti.   Guru harus tetap menjadi arsitek pembelajaran jarak jauh berbasis TIK. Tidak ada yang perlu ditunggu, pergunakan apapun yang ada dan dimiliki untuk menjalankan proses pembelajaran.  Tidak perlu takut salah dan gagal, karena kesalahan dan kegagalan merupakan bagian dari proses belajar. Mulailah dari diri dan lingkungan sendiri, tidak perlu memikirkan hal-hal yang berada di luar kendali. Orang bijak berkata “lebih baik setengah–setengah benar, dari pada benar-benar salah”. Dalam penerapan TIK guru harus menjadi garda terdepan dalam menerapkan pembelajaran jarak jauh.

Media atau Tools  yang bisa digunakan guru dalam pembelajaran jarak jauh adalah: Zoom, Webex, Google Meet, Hangout, Telkom Umeetme, WhatsApp, Edmodo, Google Classroom, Microsoft 365, Rumah Belajar, Kuis Online, dan lain-lain.

Apakah dengan kehadiran media tersebut guru bisa tergantikan? Saya yakinkan tidak bisa tergantikan. Karena itu harus dicari format yang tepat, paling tidak merupakan salah satu solusi untuk memperbaiki ketidakefektifan belajar yang dikarenakan peristiwa luar biasa (Covid-19) ini.  Pembelajaran secara blended learning adalah sebuah pilihan dan keharusan. Apakah itu blended learning? Pembelajaran yang menggabungkan antara pembelajaran tatap muka, pembelajaran dengan menggunakan media online dan pembelajaran praktek. Atau lebih kita kenal dengan nama pembelajaran campuran antara tatap muka, online dan praktek.

Dalam implementasinya blended learning memaksa orang tua harus mengubah paradigma dan “mindset”nya. Mau tidak mau, suka tidak suka maka orang tua harus belajar menjadi seorang “guru dadakan”. Orang tua harus mengaplikasikan budaya belajar di sekolah ke dalam rumah (ruang keluarga) masing-masing. Dalam hal ini guru berperan hanya  sebagai pemantau kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara online. Sedangkan kegiatan tatap muka dan praktek pembelajaran sepenuhnya menjadi tanggungjawab orang tua di rumah. Tuntutan materi yang disampaikan guru juga tidak lagi berorientasi pengetahuan semata, tetapi harus mengarah kepada kecakapan hidup yang dapat dilaksanakan di rumah masing-masing.

Dalam proses blended learning ini bahwa orang tua (guru dadakan)  dan murid tetap merupakan subjek pendidikan. Artinya peran orang tua harus mengambil alih posisi seorang  guru di sekolah. Teknologi dan materi pembelajaran hanyalah sebagai alat untuk mencapai pengembangan potensi anak secara optimal dan maksimal. Orientasi pembelajaran harus mengarah kepada life skills siswa. Bukan lagi pembelajaran yang mengejar target kurikulum, tetapi lebih mengarah kepada peningkatan religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, kecakapan sosial dan kecakapan emosional.

Para orang tua siswa perlu memahami bahwa meski di rumah, anak mereka tetaplah harus konsentrasi pada proses pembelajaran yang tengah berlangsung. Dari sini akan diketahui bagaimana seharusnya orang tua memberikan pendidikan kepada anak sekaligus memahami apa saja yang menjadi tugas para guru. Orang tua harus menjadi pengajar, pendidik, motivator, evaluator, inspirator dan sekaligus menjadi penggerak bagi putra-putrinya untuk tetap belajar. Pendek kata apa yang dilakukan guru di sekolah harus dilakukan orang tua di rumah dalam membelajarkan putra-putrinya.

Sistem penilaian juga sudah tidak memungkinkan mengandalkan guru dari sekolah, tetapi semua harus bertumpu pada orang tua.  Dari sini pula diketahui pentingnya sinergi antara orang tua dan pihak sekolah. Karena itu, kiranya proses pendidikan orang tua (education parenting) perlu benar-benar dijadikan program kerja sama yang nyata antara sekolah dan orang tua.

Orang tua bukanlah sosok yang hanya berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan material anak. Kebutuhan immaterial juga harus mendapatkan porsi yang sama, bahkan lebih. Sebab, kesibukan dan kepadatan urusan orang tua bisa menjadi bumerang ketika tidak diseimbangkan secara baik dalam kehidupan keluarga. Tanpa pendampingan yang bagus dari orang tua, maka hasil pendidikan dari bangku sekolah tidak akan berbekas dan bermakna dalam kemasyarakatan.

Pembelajaran yang bermakna bukan saja terfokus kepada nilai yang dicapai peserta didik. Namun bagaimana proses pembelajaran mampu memberikan pemahaman yang baik, meningkatkan moralitas, menumbuhkan kesadaran, terbentuknya ketekunan, tumbuhnya rasa tanggungjawab serta terjadinya perubahan prilaku dan sikap yang diaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga saja, model blended learning ini, bisa mengokohkan hubungan orang tua dengan guru, orang tua dengan anaknya. Sehingga pada akhirnya menumbuhkan kesadaran orang tua dalam mengembalikan jati diri pendidikan yang sesungguhnya yaitu pendidikan keluarga. Karena pendidikan keluargalah yang menjadi pendidikan pertama dan utama bagi anak.

Bekasi, 2 Mei 2020



Yan Supyanto

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menciptakan Pola Belajar Efektif dari Rumah

Bahan Untuk Renungan

Kebencian itu Seperti Bau Tomat Busuk